Sabtu, 24 Agustus 2013


One Man Show
Malam ini dingin menusuk sampai ke tulang. Langit terasa tentram kala berteman kemerlap bintang. Alunan ayat-ayat suci terdengar merdu menjerjang dalamnya kalbu. Aku kembali pada masa laluku. Saat aku berpeluh dengan waktu. Aku kembali pada masa kecilku. Saat aku bertanya, mengapa waktu terasa cepat berlalu. Sekian lama mengembara, aku kembali.. Di rumah ini..
Pesan singkat yang  datang bergelombang mencoba memecah struktur imajinasiku. Dengan tema yang sama, di gelombang yang sama dan di chanel yang sama pula. Kami kembali larut dalam romantisme masa remaja yang telah lama terlampaui.
Fisicly, aku rasa menimbulkan pertanyaan besar. Why always her? Walau seribu jawaban berkata masih banyak yang lain nyatanya tak ada tanda-tanda dunia akan mengalihkan wajahnya. Di setiap kesempatan. Bagaikan air laut yang selalu berciuman dengan bibir pantai. Dia seakan ingin menunjukkan eksistensi yang tak pernah mati dalam lalu lintas peradaban kami.
Sesuai prediksi, aku tak kuasa menahan idealismeku yang terlanjur meletup. Aku rela menerima title ketidakpoluleran daripada harus menutupi kebenaran. Bahkan aku siap diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan. Bagiku, keindahannya bukanlah segalanya. Walau tak bisa kupungkiri aku memendam rasa penasaran terhadap delta sungainya. Namun ketika aku kembali sadar, jiwa ini berontak mempertanyakan validitas prinsip hidupku.
Saat aku kembali di rumah ini, masa laluku diputar kembali, dan kala mata ini nanar memandang dua foto bersanding di dinding. Aku berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan cerita itu. Lambat waktu memacu, setidaknya aku masih mengingat klimaks dari setiap episode. Aku masih ingat jengkal demi jengkal tapakan ini berlalu. Masih tergambar dengan jelas kronologis yang mengirimku hingga bertemu denganmu. Well, what can i do for you? nothing!
Perlahan malam bergerak menuju fajar, suhu semakin merendah, dan bintang mulai menghilang.. dan terus menghilang.. Meski ketentraman berganti ketidaknyamanan, aku tak mau mempermasalahkannya. Karena aku telah belajar, saat aku melepasmu...

Minggu, 28 Juli 2013


Ilmu Spionase dari Anggota DPR
Purnama sudah terlewat beberapa hari yang lalu. Aku telah meninggalkan momen-momen itu. Mungkin aku terlampau kaku menyikapi suasana baru yang sedang mendera. Atau mungkin aku sudah tak tertarik lagi padanya. Aku malah lebih tertarik untuk berjibaku mempermainkan perasaan orang lain. Mendekatkan diri dalam lumpur merah jambu yang berisikan banteng yang sedang perang sangat dingin. Benar-benar dingin, disertai canda-tawa, cekakak-cekikik, ngguya-ngguyu, tapi aku tahu jika tiap-tiap hati sudah saling meneteskan lava pijar.
                Hari berganti, purnama pun berlalu, tergerus oleh ocehan para penyamun yang menyeringai di bawah pohon beringin. Mereka saling jual-beli serangan, mencecar setiap sudut sempit pertahanan lawan. Tak peduli panas atau hujan, cerah atau berawan. Bahkan ketika kawan mereka melawan, tak segannya ditawan. Rumit. Semakin rumit. Perang mulai memanas bak mesin disel. Lambat laun menunjukkan progresivitas yang melebihi ambang batas normal pikiran manusia. Sampai pada akhirnya laga seru itu terpaksa dihentikan.
                Para ksatria kembali ke camp masing-masing, menyusun strategi perang yang lebih jitu. Mereka pasti berharap ketika pagar segera dibuka dan perang kembali bergulir. Namun para penyamun sudah terlanjur bergerak semenjak tadi malam. Berbekal ilmu spionase yang diperoleh dari anggota dewan perwakilan rewo berinisial AU, AH, GE, LAP, mereka seolah ingin menunjukkan kontribusi yang maksimal demi menyenangkan tuan mereka masing-masing.
                Pagi ini, menjelang subuh radar kehadiran mereka tercium oleh pengawal istana. Mereka kembali untuk menginput data. Lelah dan kantuk terbayar oleh tepukan khas di pundak. Mereka keluar dari istana dengan kepala tegak. Tak terlihat sedikit pun degradasi performa. Keyakinan yang sangat tinggi menyingkirkan kegusaran akan validitas yang akan mereka pertaruhkan esok hari, ketika perang dimulai. Jika istana porak-poranda, kepala mereka siap jadi taruhannya.
Aku yang dari awal berada pada sudut pandang orang ketiga berusaha tetap on the track. Tak sedikit pun aku tergoda berganti pada sudut pandang orang pertama. Aku tak ingin terintervensi oleh permainan para penyamun. Walau aku sudah kepalang basah mendekati medan perang namun sudah dapat kupastikan tak akan sesenti pun maju langkahku. Dunia itu seluas langkah kaki. Masih banyak ruang untuk melangkah, bergerak, dan berkreasi. Sesegera mungkin kuangkat jauh-jauh kaki ini tanpa harus menunggu siapa yang jadi pemenangnya.

Selasa, 25 Juni 2013


Terbombardir
                Pagi begitu dingin menusuk sampai ke ulu hati. Terlambat sepersekian detik menuju salat berjama’ah. Mau tidak mau aku harus mendirikannya sendiri.
                Mentari masih misteri. Gejolak nadir menstimulus naluriku untuk segera bereksodus. Sayang, bayangmu masih mengintervensi langkah ini. Terbaring, bersama menjaga terbitnya fajar. Imaji ini terus terkembang layaknya kapal layar yang terhantam badai. Terus meliak-liuk.
                Senyumanmu seolah menjadi saksi ganasnya angan ini melayang. Melesat jauh tak terjamah. Tak jelas dimana mencari muaranya. Aku hanya mampu mengikuti, sambil sesekali memegang tali kendali.
                Pelan tapi pasti. Bayangmu mulai menepi. Berubah menjadi lembaran hitam. Senyummu lenyap tertelan deburan ombak. Wajahmu kaku, pucat pasi.
                Hujan rintik-rintik perlahan turun dan membekas jelas di hamparan pasir. Aku terdampar di pantai. Hanya mampu memandangmu. Tak terucap sepatah kata. Kamu masih tak bergeming. Aku tahu, di hatimu turun hujan yang lebih deras. Bahkan semakin deras.
                Walau hujan melahap seisi samudera...
                Walau badai kencang datang menerpa...
                Laut tak pernah meninggalkan pantai...
                Seperti aku,
                Yang tak pernah meninggalkanmu...

Jus Baru Rasa Lama
                Tak terasa sudah satu bulan, purnama menyapaku kembali. Dia masih saja seperti dulu. Elok nan cantik. Seperti “sedianya”.
                Hembusan angin malam mengurai jengkal demi jengkal telaga kalbu. Terseret perlahan ke tepi dan berbekas. Malam ini, aku kembali ke masa silam, satu bulan yang lalu ketika hujan masih turun rintik-rintik. Satu tahun yang lalu ketika mendung tak pernah menghalang, dan satu dasawarsa yang lalu ketika aku dan kamu belum pernah sekalipun bertemu.
                Redup-redam sinar purnama menyisakan cerita. Tentang seorang anak manusia. Jatuh cinta dengan alamnya. Mengejar langkah-langkah kecil yang tercabut dari akarnya. Menakar kebebasan sejati, yang abadi, tanpa pandang bulu. Mencari kemerdekaan yang hakiki ditengah himpitan degradasi moral yang tak kunjung henti.
                Sebuah episode lama yang terulang kembali. Menjemput kenangan masa lampau. Yang tak pernah terbayangkan olehku terjadi lagi di sini. Bertemu denganmu. Menerjemahkan kembali komedi putar yang telah lama vakum. Berpusat pada suatu titik bak delta. Menerjang ganasnya badai, berbekal sebaris doa, kamu... Hadir lagi dihadapanku. Dengan selamat dan sentosa.
                Aku... dan purnama... malam ini. Menikmatimu. Mengukir sejarah yang akan terkuak suatu saat nanti. Oleh anak-cucu kita.
               
                

Sabtu, 25 Mei 2013


Cinta Kasih Statistik >
                Malam tadi sampai pagi ini, aku tak melihat purnama. Sedih rasanya, tak ada teman berbagi. Hanya pada hujan, aku berserah meratapi malam minggu yang sepi. Sendiri. Biarlah dia pergi, mencari tambatan hati lagi (mungkin). Walau hujan selalu menemani, aku kan sabar menanti, (purnama datang lagi).
                Meski hujan datang silih berganti, tergeser oleh mentari, aku tetap berdiri di sini. Bersama cinta yang suci, bergelut dengan hari, setia menunggu, (purnama datang padaku). Berbagi malam dengan berbagai romantika dunia yang fana.
                Purnama, sampaikan salamku padanya. Sampaikan pula bahwa aku mengasihimu karenanya.
                Jika seiring hari berganti kau tak lagi kembali, aku pasti bersedih hati, dan bertanya-tanya apakah salah diri ini. Andai kau tak mau muncul lagi, mendung tak akan kukebiri, hujan tak akan kumaki, alam tak akan kucaci. Dan Tuhan tak akan kukhianati.
                Cinta kasihku padamu tak akan terganti, tertanam subur di lubuk hati, hingga ajal menanti. Purnama, tetap menjadi bagian diri ini. Walau sepi, sendiri, lara hati, tak terobati. Aku tak peduli.
               
                

Jumat, 24 Mei 2013


@LuarNegeri_ngimpi
                Ketika terik matahari mulai menepi, angin berhembus tenang. Semilir merepa setiap nafas yang termekarkan. Seorang abg mematung di pojok kelas.
                Angannya terbang melintasi dinding-dinding kelas. Meninggi menembus atap sekolah yang lusuh. Matanya terpejam, tenang. Ia begitu menikmati sensasi itu. Dan, kenikmatan nampaknya mendekati klimaks. Badannya semakin rileks. Dengan mata telanjang, ia terlihat sangat kenikmatan apa yang ia rasakan. Pelan-pelan mulutnya mulai terbuka. Tanpa disadari, seisi kelas mengamati gerak-geriknya. Mereka seolah ingin tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Klimaks yang ia inginkan pun semakin mendekati kenyataan. Dan... Nggroookkkk!!!!
                Seisi kelas tertawa.
                “Joni! Bangun!” bentak wanita berpostur gemuk berkacamata tebal itu.
                Ia pun kaget setengah mati. Seisi kelas masih saja tertawa.
                “Diam! Diam semua!” gertak wanita itu lagi.
                “Joni!”
                “I..i..ya.. Bu,” jawab Joni.
                “Apa yang kamu lakukan hah?”
                “Sedang diajar malah tidur, ngorok lagi!”
                Beberapa teman sekelas Joni masih terlihat cengengesan.
                “Maa..maaf Bu,” ucap Joni lirih.
                “Kamu mimpi apa tadi sampai ngorok kaya gitu?”
                “A..aa..nu.. Bu.”
                “Anu apa?”
                “A..a..nu.. Saya mimpi ke Singapura Bu,” jawab Joni polos.
                Seisi kelas pun kembali geger. Mereka sangat terhibur dengan parodi Joni. Ada yang semakin mentertawakannya, adapula yang mencibirnya.
                “Alah, kamu ini ngaco!”
“Ikuti pelajaran dengan benar, jadi anak yang pandai, kuliah di universitas yang bagus, jadi mahasiswa yang aktif, baru kamu bisa ke Singapore.”
                “Tapi saya tidak mau seperti itu Bu,” timpal Joni.
                “Lho memang kenapa?”
                Seisi kelas diam.
“Saya anak yang biasa-biasa saja Bu, jika kuliah pun paling di universitas yang biasa-biasa saja. Dan, jadi mahasiswa yang biasa-biasa pula.”
“Itu namanya tidak berprestasi.”
“Bagi saya, prestasi bukan menjadi anak yang pandai, kuliah di universitas ternama, jadi mahasiswa aktif, lalu go international.”
“Biarkan itu menjadi jalan hidup mereka yang kebal terhadap politisasi, kriminalisasi, dan diskriminasi.”
“Saya mau di Indonesia saja, bersama orang-orang yang dilupakan, tertindas di negerinya sendiri, bermimpi ke luar negeri pun tak pernah.”
“Tapi masih punya hati nurani!”

Purnama ‘*’
                Malam ini bulan purnama, aku duduk di atas genting menikmatinya. Ah, indah sekali rupanya. Kutengok ke kanan, kiri. Tak ada siapa siapa. Menyendiri.
                Bulan purnama, atas genting, dan aku, adalah salah satu peradaban yang tak terpisahkan. Entah bagaimana ceritanya, aku jadi suka purnama. Begitu elok nan cantik. Kebahagiaan menghinggapiku hingga lelah menjemput. Walau sendiri.
                Terdengar buaian musik original negara kita yang bergemuruh sejak ba’da ‘isya. Tangan dan kaki pun ikut bergetar seiring lantunan nada. Setidaknya, aku bisa merasakan bahagia. Meski sendiri.
                Aku menyadari suatu hal, bahwa bahagia tidak semata-mata urusan materi, kursi, atau wanita yang mau ditiduri. Bukan, bukan itu. Bagiku, bahagia itu sederhana. Sesederhana aku menatap purnama. Hanya dibutuhkan kesabaran, untuk menanti purnama bulan ini, depan, depannya lagi, dan seterusnya.