Salah
Alamat
Jam menunjukkan
pukul 10.00, tanda jam istirahat segera tiba. Bel pun berbunyi, semua
siswa berhamburan keluar kelas dengan kepentingan masing-masing tak
terkecuali Jono, Joni dan Jodi.
Jono, Joni dan Jodi
adalah tiga bersahabat. Mereka memulai persahabatan sajak awal masuk
SMA, hingga sekarang mendekati kelulusan. Setiap hari mereka selalu
bersama, dalam suka mau duka, dalam susah maupun senang, dalam rindu
mereka saling mengisi, dalam cinta saling mengerti, dalam benci
saling memahami dan dalam “kejahatan” mereka saling
berkonsolidasi. Mereka sudah sangat terkenal di sekolah kami. Sayang,
bukan karena prestasi akademis maupun non akademis yang membuat
mereka terkenal melainkan kejailan-kejailan dan kenakalan-kenakalan
yang mereka lakukan dan merisaukan banyak pihak. Sudah banyak
teman-teman mereka yang menjadi korban, termasuk aku.
Hari yang tak pernah
aku lupakan itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu. Kejadian itu
terjadi ketika aku sedang makan siang di kantin.
“Apa kabar Boy?”
sapa Jono yang tiba-tiba muncul di belakangku dan duduk di
sampingku.
“Ba..baik”
jawabku setengah kaget.
Pikiranku melayang
jauh, menerka nasib sial yang akan menimpaku.
“Wah..enak nih
siang-siang makan bakso..hehe” celetuk Joni.
“Bagi-bagi
dong..hehe” timpal Jodi.
Tanpa ku sadari Joni
dan Jodi sudah berada di belakangku.
Perasaanku semakin
bercampur aduk, pikiranku melayang-layang menanti nasib buruk yang
akan menimpaku. Nakal, jahat, jail, kejam, dan ungkapan-ungkapan lain
yang kerap muncul dari korban-korban mereka.
“Sana pesan
makanan Jon, kita makan di sini saja biar tambah ramai..” celetuk
Jono pada Joni.
“Ah...aku masih
kenyang Jo, kalau kamu lapar pesan sendiri saja.” Jawab Joni.
“Aku juga masih
kenyang.” timpal Jodi.
“Wah...nggak
asyik. Ya udah, kita makan nanti saja.” gerutu Jono.
Pikiran-pikiran
negatif yang tadi sempat muncul perlahan mulai sirna. Ternyata mereka
sama sekali tidak bertindak apapun, batinku.
“Yuk kita ke
kelas, nggak enak ganggu si Boy lagi makan.” kata Jono sambil
beranjak dari sebelahku.
“Ayo..!!” jawab
Joni
“Lain kali kita
sambung lagi Boy.” sambung Jodi sambil menepuk punggungku.
Akupun segera
melanjukan makan siangku yang sempat tertunda dengan kehadiran
mareka. Walaupun sedikit terganggu, aku masih bersyukur tidak terjadi
hal buruk yang menimpaku.
Setelah selesai
makan siang, akupun beranjak ke kelas karena bel segera berbunyi
tanda jam pelajaran berikutnya segera dimulai. Aneh, memdadak aku
menjadi pusat perhatian. Hampir semua orang memperhatikanku sambil
tersenyum bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak. Ada apa ini,
batinku. Akupun berusaha tidak mempedulikannnya, tapi semakin lama
semakin banyak yang mentertawakanku. Pasti ada yang tidak beres.
Sesampainya di
kelas, semua teman-teman sekelasku mentertawakanku, ada jauga yang
menggodaku.
“Cie..cie..cie..yang
lagi jatuh cinta” celetuk salah seorang temanku.
“Ihir...ehmm..kalau
udah jadi makan-makan ya..” timpal Jono, yang berada di depan
pintu bersama Joni dan Jodi.
Aku semakin
dibingungkan dengan situasi ini. Kebingunganku semakin memuncak
ketika tiba-tiba ada seseorang yang memelukku dari belakang dan
mengatakan sesuatu yang sangat tak teduga.
“I love you
too..Boy..” celetuk Popy.
Sontak semua yang
ada di kelas bergemuruh bagaikan paduan suara. Menyuarakan satu kata.
“ Terima..terima..terima..terima”
gemuruh teman-temanku.
Tidak, ini tidak
mungkin batinku.
Popy, adalah teman
sekelasku. Dia cewek paling aneh yang pernah kutemui di dunia ini.
Badannya gendut, kulitnya hitam, pakai katamata tebal, rambutnya ikal
tak pernah disisir, pakai kawat gigi, makan favoritnya olahan daging
jadi kalau sehabis makan sisa-sisa makanannya nyangkut dikawat
giginya, seragam sekolahnya tak pernah disetrika. Dan hobinya yang
paling dia sukai adalah tidur ketika pelajaran olahraga dengan alasan
yang sama selama 3 tahun, seragam olahraganya sudah tidak muat lagi
dan sedang menjahitkan seragam olahraga yang baru.
Aku berusaha untuk
meronta, tapi aku kalah tenaga. Maklum, badan Popy yang super jumbo
berbanding terbalik dengan badanku yang kurus kering.
“Aku jelaskan dulu
Pop.” akhirnya kuberanikan untuk bersuara.
Suara gemuruhpun
mulai mereda, semua menunggu kata selajutnya yang akan terucap dari
mulutku.
“Lepaskan dulu
pelukanmu Pop.” ucapku.
Dengan berat hati
akhirnya Popy melepaskan pelukannya.
“Apa yang
mendasari kamu mengucapkan I love you too kepadaku?” tanyaku kepada
Popy.
“Di belakang
punggungmu.” jawab Popy.
Aku semakin bingung.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud oleh Popy. Sejenak
kulihat teman-teman disekelilingku mulai tertawa kecil.
“Di belakang
punggungmu ada sesuatu.” ucap Popy memperjelas jawabannya.
“Sesuatu?”
tanyaku sambil meraba sekitar punggung.
Oh, tidak. Aku baru
menyadari kalau di punggungku menempel selembar kertasyang ternyata
bertuliskan suatu pernyataan.
Mataku langsung
mengarah pada Jono, Joni dan Jodi yang tertawa terbahak-bahak penuh
kemenangan. Mereka terlihat sangat puas. Dan aku, sudah tak berdaya
lagi saat aku membaca tulisan yang dari tadi menempel di punggungku.
“Aku cinta sama
Popy.” ucapku pelan.
“I love you
too..Boy..” celetuk Popy.
Seisi kelaspun
kembali bergemuruh. Daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,
tanpa berpikir panjang aku langsung lari menyelamatkan diri. Setelah
kejadian itu, aku tidak masuk sekolah selama setengah bulan.
Tiga tahun setelah
kejadian itu berlalu, membuatku selalu paranoid dengan mereka.
Mungkin hal tersebut juga dirasakan oleh sebagian teman-teman yang
mendapat nasib yang sama denganku. Para gurupun sudah kehabisan akal
dengan perilaku mereka, tidak ada satupun yang bisa menghentikan ulah
mereka. Hanyalah do’a yang selalu kami panjatkan agar mereka dapat
kembali pada jalan yang benar.
Jono, Joni dan Jodi
memang sudah menjelma menjadi momok yang sangat menakutkan bagi
seluruh penghuni sekolah. Hampir semua siswa di sekolah kami sudah
merasakan kejailan mereka. Kali ini tak tanggung-tanggung, target
mereka selajutnya adalah Pak Wawan. Beliau adalah guru honorer yang
baru berada disekolah kami selama satu minggu. Walaupun hanya seorang
guru honorer beliau selalu mengutamakan kedisplinan. Tidak boleh
telat masuk jam pelajarannya, harus memerhatikan pelajaran yang
beliau sampaikan, tidak boleh bekerja sama ketika ulangan, dan
peraturan-peraturan lain yang bersifat mengikat. Bagi siswa yang pola
pikirnya cerdas bisa mengerti maksud dan tujuan dari Pak Wawan tapi
bagi yang memiliki pola pikir sebaliknya, mereka merasa kemerdekaan
mereka terampas, termasuk Jono, Joni dan Jodi.
Mereka sudah
mengatur siasat dan strategi untuk membuat perhitungan dengan Pak
Wawan. Aku mengetahui hal tersebut ketika aku berada di toilet. Tanpa
sengaja aku mendengar perbincangan mereka.
“Pokoknya kita
harus buat Wawan tak berani datang ke sekolah kita lagi!” celetuk
Jono.
“Iya, benar. Si
Wawan telah merenggut kemerdekaan kita, dia harus menerima ganjaran
yang setimpal.” imbuh Joni.
“Kita lihat saja
nanti, ideku ini pasti berhasil. Dia pasti akan ditertawakan oleh
semua siswa.” timpal Jodi.
“Ha..ha..ha..ha..ha..”
tawa mereka bersamaan.
Lagi-lagi aku tak
bisa berbuat apa-apa, aku hanya berharap tidak terjadi hal buruk yang
menimpa Pak Wawan.
Bel masuk tanda jam
pelajaran akan segera dimulai lagi pun berbunyi. Kelasku akan diisi
oleh Pak Wawan. Hatiku bedetak kencang melihat Pak Wawan memasuki
ruang kelasku, apa kiranya yang akan dilakukan Jono, Joni dan Jodi
terhadap beliau.
“Selamat siang
anak-anak.” sapa Pak Wawan.
“Silakan keluarkan
kertas satu lembar.” sambung Pak Wawan.
“Yaaaahhhh...”
keluh semua siswa.
“Tidak ada yang
bekerja sama. Terutama Jono, Joni dan Jodi.” kata Pak Wawan yang
belakangan sudah tahu tentang reputasi mereka.
“Jono silakan
pindah ke belakang, bertukar tempat duduk dengan Toni. Joni tetap
duduk disitu saja.” imbuh Pak Wawan.
“Bisa kita mulai
anak-anak?” kata Pak Wawan.
“Bisa..” jawab
semua siswa kecuali Jono, Joni dan Jodi yang sudah benci sekali
dengan Pak Wawan, apalagi ketika ulangan mereka harus dipisah.
“Hayo..kamu lagi
ngapain Jodi!” gertak Pak Wawan kepada Jodi yang ketahuan sedang
menyelipkan buku catatan dan buku cetaknya di laci meja.
“Zaman sekarang
mencari orang jujur itu lebih sulit daripada mencari orang cerdas.”
kata Pak Wawan.
“Jodi, kamu pindah
ke depan sini duduknya. Kamu duduk di kursi saya.” imbuh Pak
Wawan.
Jodi nampak sudah
tidak bisa berkata-kata lagi, dia sudah tida bisa berbuat banyak dan
terpaksa mengikuti kemauan Pak Wawan.
Aku melihat segurat
kecemasan yang muncul dari wajah Jodi. Apa yang akan terjadi ini,
pikirku dalam hati.
“Ta..ta..tapi..Pak..”
celetuk Jodi panik.
“Ayo cepat Jodi!
Bapak akan segera memulai ulangannya.” kata Pak Wawan.
Muka Jodi semakin
pucat ketika mendekati tempat kursi Pak Wawan. Dia tampak ragu-ragu,
entah apa yang ada dibenak Jodi. Dan.. Gedubrak!
“Aduh..sakit!”
ronta Jodi.
Semua mata tertuju
ke depan kelas. Semua mata tertuju pada Jodi.
“Ha..ha..ha..ha..ha..”
tawa semua siswa kecuali Jono dan Joni yang hanya menutup muka
mereka dengan kedua tangannya seolah tahu apa yang akan terjadi tanpa
harus melihatnya.
Semua terlihat
dengan sangat jelas, Jodi terjatuh dari kursi Pak Wawan yang ternyata
tidak kuat menahan tubuh Jodi yang hanya sekitar 40 kg. Aneh.
Sepertinya siasat dan strategi yang telah mereka susun dengan sangat
matang ternyata....salah alamat.
Mijil Arom Utama/24/04/2012