Kamis, 08 November 2012


                                                      M 1 M
          Menjadi manusia yang baik adalah cita-cita semua orang, tetapi tidak semua orang dapat mewujudkannya. Kadang kita sudah berusaha untuk berbuat baik, segala upaya telah dilakukan namun apa daya, godaan senantiasa datang menerpa. Jika fondasi tak kuat, jebollah pertahanan kita.
Ketika seseorang melakukan hal yang buruk bukan berarti kita langsung memvonis orang tersebut jahat. Perlu adanya analisis yang konkret untuk mengetahui motif apa yang sebenarnya orang itu lakukan. Sebagian orang melakukan tindakan di luar kebiasaan karena ingin menarik perhatian orang di sekitarnya. Mereka ingin diakui. Hanya saja, saat tindakan tersebut sudah menjelma menjadi sebuah kebiasaan maka konteks cerita menjadi pembeda.
 Tidak sedikit orang yang memiliki kekuasaan terbuai dalam lingkungannya sendiri. Apa yang terjadi jika kacang lupa pada kulinya? Orang Jawa  menjawabnya : "Kacang brul". Jika kulit kita beri makna sebagai nurani maka kita harus bersiap mencari panyung anti bencana. Bagaimana tidak, saat nurani para penguasa telah lenyap, mereka bertindak seenaknya, bumi gonjang-ganijng, langit kelap-kelip, bencana datang...
Saat ini saya berada di alam kebebasan dimana setiap manusia berhak melakukan apa saja sesuai kesukaannya. Makan, tidur, kawin, maling, mabuk, judi, saling memfitnah, berkelahi, dan akhirnya saya menemukan mayat-mayat tergeletak di mana-mana.
Siaran televisi tidak ada bosan-bosannya menayangkan berita-berita gombal. Maaf, jika saya terlampau mendakwa demikian, akan tetapi saya rasa masyarakat sudah bisa menilai apa yang ditayangkan di televisi. Hiruk pikuk modernisasi ternyata disadari atau tidak berimbas pada semakin berkembangnya tingkat berpikir. Dengan demikian, dapat dikatakan jika masyarakat sudah tidak mudah dikibuli.
Beberapa pemilukada terakhir mencerminkan opini di atas. Keributan dan kegelisahan selama masa kampanye ternyata tidak tercermin pasca pemilukada. Mengapa? Karena masyarakat berpikir. Nah, pertanyaannya, apakah seiring berjalannya waktu dan semakin tingginya intensitas kaum-kaum berkepentingan merangsek di ketiak norma sosial mempengaruhi tingkat berpikir masyarakat? Perlu kita pikirkan.
Kebanyakan pendidikan saat ini sangat tidak efektif. Guru terlalu sering memberi anak-anak didiknya sebatang bunga ketika seharusnya mengajarkan mereka cara menumbuhkan tanaman mereka sendiri. Menurut saya, mulai saat ini perlu digalakan manajemen pola pikir peserta didik di semua elemen penyelenggara pendidikan.
Saya setuju, sekolah yang menyeleksi calon peserta didik, menyingkirkan calon peserta didik yang dianggap bodoh dan menerima yang dianggap cerdas adalah bukan sekolah unggulan. Logikanya, siapa yang unggulan? Sekolah, guru, atau peserta didiknya?
Sederhanyanya, sekolah yang mampu menerima peserta didik yang memiliki kekurangan/ keterbatasan dan menyulap mereka menjadi manusia yang berkarakter dan berpikir baik dan benar bisa dikategorikan unggulan. Masih perlu fakta?
Orang-orang yang mengemplang uang rakyat tanpa rasa malu, dulu sekolah dimana? Sekolah unggulan?
Orang-orang yang menindas rakyat jelata dengan jabatatannya, dulu kuliah dimana? Universitas unggulan?
Orang-orang yang menegakan hukum seenaknya sendiri, dulu menimba ilmu dimana? Sekolah Tinggi unggulan?
Saya rasa perlu ada wacana mengenai perombakan besar-besaran dalam sistem pendidikan di RI, jika ditelusuri secara detail rupa-rupanya salah satu penyebab bobroknya SDM di RI adalah kocar-kacirnya sistem pendidikan.
Anak--sekolah--(pola pikir)--kuliah--(jati diri)----> buruk---Koruptor, Cukong, Penindas.
                                                                     ----->baik-----tersingkir dari peradaban.
Kompleksitas akar permasalahan yang ada saat ini perlu diurai perlahan agar dapat dikenali benang merahnya. Apa kita perlu sejauh itu memikirkannya? Jawabannya ada pada diri Anda sendiri.