Terbombardir
Pagi
begitu dingin menusuk sampai ke ulu hati. Terlambat sepersekian detik menuju
salat berjama’ah. Mau tidak mau aku harus mendirikannya sendiri.
Mentari
masih misteri. Gejolak nadir menstimulus naluriku untuk segera bereksodus.
Sayang, bayangmu masih mengintervensi langkah ini. Terbaring, bersama menjaga
terbitnya fajar. Imaji ini terus terkembang layaknya kapal layar yang terhantam
badai. Terus meliak-liuk.
Senyumanmu
seolah menjadi saksi ganasnya angan ini melayang. Melesat jauh tak terjamah.
Tak jelas dimana mencari muaranya. Aku hanya mampu mengikuti, sambil sesekali
memegang tali kendali.
Pelan
tapi pasti. Bayangmu mulai menepi. Berubah menjadi lembaran hitam. Senyummu
lenyap tertelan deburan ombak. Wajahmu kaku, pucat pasi.
Hujan
rintik-rintik perlahan turun dan membekas jelas di hamparan pasir. Aku
terdampar di pantai. Hanya mampu memandangmu. Tak terucap sepatah kata. Kamu
masih tak bergeming. Aku tahu, di hatimu turun hujan yang lebih deras. Bahkan
semakin deras.
Walau
hujan melahap seisi samudera...
Walau
badai kencang datang menerpa...
Laut
tak pernah meninggalkan pantai...
Seperti
aku,
Yang
tak pernah meninggalkanmu...