Selasa, 25 Juni 2013


Terbombardir
                Pagi begitu dingin menusuk sampai ke ulu hati. Terlambat sepersekian detik menuju salat berjama’ah. Mau tidak mau aku harus mendirikannya sendiri.
                Mentari masih misteri. Gejolak nadir menstimulus naluriku untuk segera bereksodus. Sayang, bayangmu masih mengintervensi langkah ini. Terbaring, bersama menjaga terbitnya fajar. Imaji ini terus terkembang layaknya kapal layar yang terhantam badai. Terus meliak-liuk.
                Senyumanmu seolah menjadi saksi ganasnya angan ini melayang. Melesat jauh tak terjamah. Tak jelas dimana mencari muaranya. Aku hanya mampu mengikuti, sambil sesekali memegang tali kendali.
                Pelan tapi pasti. Bayangmu mulai menepi. Berubah menjadi lembaran hitam. Senyummu lenyap tertelan deburan ombak. Wajahmu kaku, pucat pasi.
                Hujan rintik-rintik perlahan turun dan membekas jelas di hamparan pasir. Aku terdampar di pantai. Hanya mampu memandangmu. Tak terucap sepatah kata. Kamu masih tak bergeming. Aku tahu, di hatimu turun hujan yang lebih deras. Bahkan semakin deras.
                Walau hujan melahap seisi samudera...
                Walau badai kencang datang menerpa...
                Laut tak pernah meninggalkan pantai...
                Seperti aku,
                Yang tak pernah meninggalkanmu...

Jus Baru Rasa Lama
                Tak terasa sudah satu bulan, purnama menyapaku kembali. Dia masih saja seperti dulu. Elok nan cantik. Seperti “sedianya”.
                Hembusan angin malam mengurai jengkal demi jengkal telaga kalbu. Terseret perlahan ke tepi dan berbekas. Malam ini, aku kembali ke masa silam, satu bulan yang lalu ketika hujan masih turun rintik-rintik. Satu tahun yang lalu ketika mendung tak pernah menghalang, dan satu dasawarsa yang lalu ketika aku dan kamu belum pernah sekalipun bertemu.
                Redup-redam sinar purnama menyisakan cerita. Tentang seorang anak manusia. Jatuh cinta dengan alamnya. Mengejar langkah-langkah kecil yang tercabut dari akarnya. Menakar kebebasan sejati, yang abadi, tanpa pandang bulu. Mencari kemerdekaan yang hakiki ditengah himpitan degradasi moral yang tak kunjung henti.
                Sebuah episode lama yang terulang kembali. Menjemput kenangan masa lampau. Yang tak pernah terbayangkan olehku terjadi lagi di sini. Bertemu denganmu. Menerjemahkan kembali komedi putar yang telah lama vakum. Berpusat pada suatu titik bak delta. Menerjang ganasnya badai, berbekal sebaris doa, kamu... Hadir lagi dihadapanku. Dengan selamat dan sentosa.
                Aku... dan purnama... malam ini. Menikmatimu. Mengukir sejarah yang akan terkuak suatu saat nanti. Oleh anak-cucu kita.