Minggu, 28 Juli 2013


Ilmu Spionase dari Anggota DPR
Purnama sudah terlewat beberapa hari yang lalu. Aku telah meninggalkan momen-momen itu. Mungkin aku terlampau kaku menyikapi suasana baru yang sedang mendera. Atau mungkin aku sudah tak tertarik lagi padanya. Aku malah lebih tertarik untuk berjibaku mempermainkan perasaan orang lain. Mendekatkan diri dalam lumpur merah jambu yang berisikan banteng yang sedang perang sangat dingin. Benar-benar dingin, disertai canda-tawa, cekakak-cekikik, ngguya-ngguyu, tapi aku tahu jika tiap-tiap hati sudah saling meneteskan lava pijar.
                Hari berganti, purnama pun berlalu, tergerus oleh ocehan para penyamun yang menyeringai di bawah pohon beringin. Mereka saling jual-beli serangan, mencecar setiap sudut sempit pertahanan lawan. Tak peduli panas atau hujan, cerah atau berawan. Bahkan ketika kawan mereka melawan, tak segannya ditawan. Rumit. Semakin rumit. Perang mulai memanas bak mesin disel. Lambat laun menunjukkan progresivitas yang melebihi ambang batas normal pikiran manusia. Sampai pada akhirnya laga seru itu terpaksa dihentikan.
                Para ksatria kembali ke camp masing-masing, menyusun strategi perang yang lebih jitu. Mereka pasti berharap ketika pagar segera dibuka dan perang kembali bergulir. Namun para penyamun sudah terlanjur bergerak semenjak tadi malam. Berbekal ilmu spionase yang diperoleh dari anggota dewan perwakilan rewo berinisial AU, AH, GE, LAP, mereka seolah ingin menunjukkan kontribusi yang maksimal demi menyenangkan tuan mereka masing-masing.
                Pagi ini, menjelang subuh radar kehadiran mereka tercium oleh pengawal istana. Mereka kembali untuk menginput data. Lelah dan kantuk terbayar oleh tepukan khas di pundak. Mereka keluar dari istana dengan kepala tegak. Tak terlihat sedikit pun degradasi performa. Keyakinan yang sangat tinggi menyingkirkan kegusaran akan validitas yang akan mereka pertaruhkan esok hari, ketika perang dimulai. Jika istana porak-poranda, kepala mereka siap jadi taruhannya.
Aku yang dari awal berada pada sudut pandang orang ketiga berusaha tetap on the track. Tak sedikit pun aku tergoda berganti pada sudut pandang orang pertama. Aku tak ingin terintervensi oleh permainan para penyamun. Walau aku sudah kepalang basah mendekati medan perang namun sudah dapat kupastikan tak akan sesenti pun maju langkahku. Dunia itu seluas langkah kaki. Masih banyak ruang untuk melangkah, bergerak, dan berkreasi. Sesegera mungkin kuangkat jauh-jauh kaki ini tanpa harus menunggu siapa yang jadi pemenangnya.