Ilmu Spionase dari
Anggota DPR
Purnama sudah
terlewat beberapa hari yang lalu. Aku telah meninggalkan momen-momen itu.
Mungkin aku terlampau kaku menyikapi suasana baru yang sedang mendera. Atau
mungkin aku sudah tak tertarik lagi padanya. Aku malah lebih tertarik untuk
berjibaku mempermainkan perasaan orang lain. Mendekatkan diri dalam lumpur
merah jambu yang berisikan banteng yang sedang perang sangat dingin.
Benar-benar dingin, disertai canda-tawa, cekakak-cekikik, ngguya-ngguyu, tapi aku tahu jika tiap-tiap hati sudah saling
meneteskan lava pijar.
Hari
berganti, purnama pun berlalu, tergerus oleh ocehan para penyamun yang menyeringai di bawah pohon beringin.
Mereka saling jual-beli serangan, mencecar setiap sudut sempit pertahanan
lawan. Tak peduli panas atau hujan, cerah atau berawan. Bahkan ketika kawan
mereka melawan, tak segannya ditawan. Rumit. Semakin rumit. Perang mulai
memanas bak mesin disel. Lambat laun menunjukkan progresivitas yang melebihi ambang batas normal pikiran manusia. Sampai pada akhirnya laga seru itu terpaksa
dihentikan.
Para
ksatria kembali ke camp masing-masing,
menyusun strategi perang yang lebih jitu. Mereka pasti berharap ketika pagar
segera dibuka dan perang kembali bergulir. Namun para penyamun sudah terlanjur bergerak semenjak tadi malam. Berbekal ilmu
spionase yang diperoleh dari anggota dewan perwakilan rewo berinisial AU, AH,
GE, LAP, mereka seolah ingin menunjukkan kontribusi yang maksimal demi
menyenangkan tuan mereka masing-masing.
Pagi
ini, menjelang subuh radar kehadiran mereka tercium oleh pengawal istana.
Mereka kembali untuk menginput data. Lelah dan kantuk terbayar oleh tepukan khas di pundak. Mereka keluar
dari istana dengan kepala tegak. Tak terlihat sedikit pun degradasi performa.
Keyakinan yang sangat tinggi menyingkirkan kegusaran akan validitas yang akan
mereka pertaruhkan esok hari, ketika perang dimulai. Jika istana porak-poranda,
kepala mereka siap jadi taruhannya.
Aku yang dari
awal berada pada sudut pandang orang ketiga berusaha tetap on the track. Tak sedikit pun aku tergoda berganti pada sudut
pandang orang pertama. Aku tak ingin terintervensi oleh permainan para
penyamun. Walau aku sudah kepalang basah mendekati medan perang namun sudah
dapat kupastikan tak akan sesenti pun maju langkahku. Dunia itu seluas langkah
kaki. Masih banyak ruang untuk melangkah, bergerak, dan berkreasi. Sesegera
mungkin kuangkat jauh-jauh kaki ini tanpa harus menunggu siapa yang jadi
pemenangnya.