Sabtu, 25 Mei 2013


Cinta Kasih Statistik >
                Malam tadi sampai pagi ini, aku tak melihat purnama. Sedih rasanya, tak ada teman berbagi. Hanya pada hujan, aku berserah meratapi malam minggu yang sepi. Sendiri. Biarlah dia pergi, mencari tambatan hati lagi (mungkin). Walau hujan selalu menemani, aku kan sabar menanti, (purnama datang lagi).
                Meski hujan datang silih berganti, tergeser oleh mentari, aku tetap berdiri di sini. Bersama cinta yang suci, bergelut dengan hari, setia menunggu, (purnama datang padaku). Berbagi malam dengan berbagai romantika dunia yang fana.
                Purnama, sampaikan salamku padanya. Sampaikan pula bahwa aku mengasihimu karenanya.
                Jika seiring hari berganti kau tak lagi kembali, aku pasti bersedih hati, dan bertanya-tanya apakah salah diri ini. Andai kau tak mau muncul lagi, mendung tak akan kukebiri, hujan tak akan kumaki, alam tak akan kucaci. Dan Tuhan tak akan kukhianati.
                Cinta kasihku padamu tak akan terganti, tertanam subur di lubuk hati, hingga ajal menanti. Purnama, tetap menjadi bagian diri ini. Walau sepi, sendiri, lara hati, tak terobati. Aku tak peduli.
               
                

Jumat, 24 Mei 2013


@LuarNegeri_ngimpi
                Ketika terik matahari mulai menepi, angin berhembus tenang. Semilir merepa setiap nafas yang termekarkan. Seorang abg mematung di pojok kelas.
                Angannya terbang melintasi dinding-dinding kelas. Meninggi menembus atap sekolah yang lusuh. Matanya terpejam, tenang. Ia begitu menikmati sensasi itu. Dan, kenikmatan nampaknya mendekati klimaks. Badannya semakin rileks. Dengan mata telanjang, ia terlihat sangat kenikmatan apa yang ia rasakan. Pelan-pelan mulutnya mulai terbuka. Tanpa disadari, seisi kelas mengamati gerak-geriknya. Mereka seolah ingin tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Klimaks yang ia inginkan pun semakin mendekati kenyataan. Dan... Nggroookkkk!!!!
                Seisi kelas tertawa.
                “Joni! Bangun!” bentak wanita berpostur gemuk berkacamata tebal itu.
                Ia pun kaget setengah mati. Seisi kelas masih saja tertawa.
                “Diam! Diam semua!” gertak wanita itu lagi.
                “Joni!”
                “I..i..ya.. Bu,” jawab Joni.
                “Apa yang kamu lakukan hah?”
                “Sedang diajar malah tidur, ngorok lagi!”
                Beberapa teman sekelas Joni masih terlihat cengengesan.
                “Maa..maaf Bu,” ucap Joni lirih.
                “Kamu mimpi apa tadi sampai ngorok kaya gitu?”
                “A..aa..nu.. Bu.”
                “Anu apa?”
                “A..a..nu.. Saya mimpi ke Singapura Bu,” jawab Joni polos.
                Seisi kelas pun kembali geger. Mereka sangat terhibur dengan parodi Joni. Ada yang semakin mentertawakannya, adapula yang mencibirnya.
                “Alah, kamu ini ngaco!”
“Ikuti pelajaran dengan benar, jadi anak yang pandai, kuliah di universitas yang bagus, jadi mahasiswa yang aktif, baru kamu bisa ke Singapore.”
                “Tapi saya tidak mau seperti itu Bu,” timpal Joni.
                “Lho memang kenapa?”
                Seisi kelas diam.
“Saya anak yang biasa-biasa saja Bu, jika kuliah pun paling di universitas yang biasa-biasa saja. Dan, jadi mahasiswa yang biasa-biasa pula.”
“Itu namanya tidak berprestasi.”
“Bagi saya, prestasi bukan menjadi anak yang pandai, kuliah di universitas ternama, jadi mahasiswa aktif, lalu go international.”
“Biarkan itu menjadi jalan hidup mereka yang kebal terhadap politisasi, kriminalisasi, dan diskriminasi.”
“Saya mau di Indonesia saja, bersama orang-orang yang dilupakan, tertindas di negerinya sendiri, bermimpi ke luar negeri pun tak pernah.”
“Tapi masih punya hati nurani!”

Purnama ‘*’
                Malam ini bulan purnama, aku duduk di atas genting menikmatinya. Ah, indah sekali rupanya. Kutengok ke kanan, kiri. Tak ada siapa siapa. Menyendiri.
                Bulan purnama, atas genting, dan aku, adalah salah satu peradaban yang tak terpisahkan. Entah bagaimana ceritanya, aku jadi suka purnama. Begitu elok nan cantik. Kebahagiaan menghinggapiku hingga lelah menjemput. Walau sendiri.
                Terdengar buaian musik original negara kita yang bergemuruh sejak ba’da ‘isya. Tangan dan kaki pun ikut bergetar seiring lantunan nada. Setidaknya, aku bisa merasakan bahagia. Meski sendiri.
                Aku menyadari suatu hal, bahwa bahagia tidak semata-mata urusan materi, kursi, atau wanita yang mau ditiduri. Bukan, bukan itu. Bagiku, bahagia itu sederhana. Sesederhana aku menatap purnama. Hanya dibutuhkan kesabaran, untuk menanti purnama bulan ini, depan, depannya lagi, dan seterusnya.
               
                

PARADIGMA !
                Azan ‘isya sebentar lagi berkumandang. Sayub terdengar suara-suara sumbang, makin lama makin tercerai oleh malam. Tapak demi tapak kaki seorang anak manusia berjalan merambat di imajiku, membuat nadi terkoyak dan adrenalin terpacu begitu kencang. Emosi?
                Dan azan pun berkumandang. Dua orang anak manusia duduk sejajar di depanku. Berkeluh kesah (di radio galau). Kami terhenti sejenak...
                Setelah mengadapnya, kami lanjutkan “on air”.
                Tak jauh dari sudut mushola, nampak tiga orang srikandi menapaki arah masing-masing. Berjalan dengan arah berbeda namun satu jurusan. Sambil berlalu dari mushola, mereka terlihat berbincang dari hati ke hati.
                “Pokoknya, dia perlu diberi masukan,” celetuk Srikandi 1.
                “Iya benar. Masa sholatnya ndak becus seperti itu,” sahut Srikandi 2.
                “Salain itu, dia juga kerap membuat ulah,” timpal Srikandi 3.
                Seorang remaja tanggung menjadi objek gosip mereka. Berangkat ke mushola dengan niat beribadah, tapi sayang sekali saudara-saudara... Harus diakhir dengan membicarakan aib orang lain.
                Kami (yang di studio) mencoba menginterpretasikannya.
                Sayang, sang remaja tanggung tahu bahwa dia menjadi sasaran para srikandi. Tak bisa dipungkiri, kebencian yang datang, perlahan turun ke hati lalu membeku seperti batu. Benci kepada mereka, dan... Fatal! Dia “lari” dari mushola. Jauh, dan semakin jauh dari mushola
Gosip jilid II pun tersaji di hadapan para pemirsa.
“Wis sholate ora genah, saiki malah ora tau jama’ah,” ujar Srikandi 1.
“Iya, kapan berubahe nek kaya ngene,” imbuh Srikandi 2.
“Jan, wis parah tenan, nek ngene ini dewe kudu bertindak!” tutur Srikandi 3.
Ya, pelan tapi pasti. Si remaja tanggung di jauhi para srikandi. Nampak seperti sejoli yang baru mengakhiri hubungannya. Berpapasan pun tak saling menegur.
Para srikandi masih menggunjing, sedangkan si remaja tanggung mulai lenyap dari peradaban. Lantas ini salah siapa?
Jika Islam dinilai hanya dari salat dan mengaji
Andai shalat dan mengaji mutlak mencerminkan seseorang
Kala seseorang jauh dari itu
Apa dia kafir?


Rabu, 22 Mei 2013


DIAMBANG ?
Slow but sure, aku mulai terlarut dalam romansa yang disajikan media akhir-akhir ini. Sangat menekan naluri dan imajinasiku. Aku berusaha menempatkan diri pada posisi yang benar. Namun aku malah terkungkung dalam perenungan yang tiada henti. Bintang dan bulan menjadi saksi di setiap malam yang aku lewati, yang dengan setia menjawab jengkal demi jengkal pertanyaanku.
Sepintas aku merasa sebagai manusia telah tertipu oleh harum dan semerbaknya dunia, tanpa menyadari betapa busuk dan kotornya ia. Aku tidak sadar bahwa yang selama ini terlihat dan tercium hanyalah kepalsuan. Korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kriminalitas, adalah sedikit contoh betapa impotennya negara ini. Tanpa sedikitpun menyingkirkan progres positif yang terjadi, relitanya bangunan yang terbangun adalah bangunan megah yang terbuat dari kertas. Bukan dari cor-coran! Nampak berkilau dari luar namun rapuh di dalamnya.
Suara rakyat, suara mahasiswa, dan suara kebenaran adalah angin. Sekuat-kuatnya mereka mengencangnya, jika angin bertiup kencang, robohlah bangunan itu. Teorinya memang mudah, namun pada praktiknya belum ada angin topan serupa bulan Mei tahun 1998.
Lantas aku semakin bertanya-tanya, kapankah kepalsuan itu terbongkar? Bintang dan bulan tak bisa menjawab. Kemana lagi aku harus bertanya? Seorang filusuf menjawab, “Jawabannya ada pada diri kalian masing-masing.”