Jumat, 12 April 2013


SERPIHAN ASBES
                Pagi buta hujan mengguyur negeri  mataram. Setelah salat subuh mataku kembali terpejam. Janji yang dibuat seolah samar dibalik dinginnya kabut. Kerja bakti hari ini batal, pikirku. Terlelap jauh menembus batas imaji, menyatu bersama tetesan-tetesan penuh ketentraman. Nampaknya aku sangat menikmati tanpa memikirkan dosa yang membayangi. “Dok..dok..dok..” pintu kamarku ada yang mengetuk.
                Kubuka pintu kamarku, ternyata si pemilik FU yang mengetuk. Samar terdengar suara gesekan antara sapu lidi dan halaman. Sudah ada yang menyapu rupanya. Hujan sudah reda, tetua kos-kosan terlihat sedang mengepel gazebo. Mati aku. Aku melanggar janji. Mayoritas anak-anak kos sudah bangun. Tanpa basa-basi, aku langsung sikat problem di dapur. Set..set..thek..less.. Kelar.
                Setidaknya lumayan untuk mengembalikan nama baikku. Sudah kubayangkan rencana matang membeli cemilan untuk anak-anak, sembari membersihkan meja di depan kamar. Sesaat aku dengar percakapan antara dua anak manusia di atasku. Jelas namun kurang terang. Aku tetap fokus pada meja. Tiba-tiba terdengar benturan yang keras di atas kepalaku. Aku langsung menyelamatkan diri sembari mengamankan kepalaku dengan tangan. Terlihat jelas pemuda bercelana biru muda tersangkut di antara asbes dan saka. Kuamati betul-betul. Aku sempat mendekat, ternyata dia terbangun dan menimbulkan pecahan-pecahan asbes kembali berjatuhan. Aku kembali menghindar, untunglah dia tidak jatuh. Pagi yang gila!