SERPIHAN ASBES
Pagi
buta hujan mengguyur negeri mataram.
Setelah salat subuh mataku kembali terpejam. Janji yang dibuat seolah samar
dibalik dinginnya kabut. Kerja bakti hari ini batal, pikirku. Terlelap jauh
menembus batas imaji, menyatu bersama tetesan-tetesan penuh ketentraman.
Nampaknya aku sangat menikmati tanpa memikirkan dosa yang membayangi. “Dok..dok..dok..”
pintu kamarku ada yang mengetuk.
Kubuka
pintu kamarku, ternyata si pemilik FU yang mengetuk. Samar terdengar suara
gesekan antara sapu lidi dan halaman. Sudah ada yang menyapu rupanya. Hujan
sudah reda, tetua kos-kosan terlihat sedang mengepel gazebo. Mati aku. Aku melanggar janji. Mayoritas anak-anak
kos sudah bangun. Tanpa basa-basi, aku langsung sikat problem di dapur.
Set..set..thek..less.. Kelar.
Setidaknya
lumayan untuk mengembalikan nama baikku. Sudah kubayangkan rencana matang
membeli cemilan untuk anak-anak, sembari membersihkan meja di depan kamar.
Sesaat aku dengar percakapan antara dua anak manusia di atasku. Jelas namun
kurang terang. Aku tetap fokus pada meja. Tiba-tiba terdengar benturan yang
keras di atas kepalaku. Aku langsung menyelamatkan diri sembari mengamankan
kepalaku dengan tangan. Terlihat jelas pemuda bercelana biru muda tersangkut di
antara asbes dan saka. Kuamati betul-betul. Aku sempat mendekat, ternyata dia
terbangun dan menimbulkan pecahan-pecahan asbes kembali berjatuhan. Aku kembali
menghindar, untunglah dia tidak jatuh. Pagi yang gila!