Sabtu, 24 Agustus 2013


One Man Show
Malam ini dingin menusuk sampai ke tulang. Langit terasa tentram kala berteman kemerlap bintang. Alunan ayat-ayat suci terdengar merdu menjerjang dalamnya kalbu. Aku kembali pada masa laluku. Saat aku berpeluh dengan waktu. Aku kembali pada masa kecilku. Saat aku bertanya, mengapa waktu terasa cepat berlalu. Sekian lama mengembara, aku kembali.. Di rumah ini..
Pesan singkat yang  datang bergelombang mencoba memecah struktur imajinasiku. Dengan tema yang sama, di gelombang yang sama dan di chanel yang sama pula. Kami kembali larut dalam romantisme masa remaja yang telah lama terlampaui.
Fisicly, aku rasa menimbulkan pertanyaan besar. Why always her? Walau seribu jawaban berkata masih banyak yang lain nyatanya tak ada tanda-tanda dunia akan mengalihkan wajahnya. Di setiap kesempatan. Bagaikan air laut yang selalu berciuman dengan bibir pantai. Dia seakan ingin menunjukkan eksistensi yang tak pernah mati dalam lalu lintas peradaban kami.
Sesuai prediksi, aku tak kuasa menahan idealismeku yang terlanjur meletup. Aku rela menerima title ketidakpoluleran daripada harus menutupi kebenaran. Bahkan aku siap diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan. Bagiku, keindahannya bukanlah segalanya. Walau tak bisa kupungkiri aku memendam rasa penasaran terhadap delta sungainya. Namun ketika aku kembali sadar, jiwa ini berontak mempertanyakan validitas prinsip hidupku.
Saat aku kembali di rumah ini, masa laluku diputar kembali, dan kala mata ini nanar memandang dua foto bersanding di dinding. Aku berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan cerita itu. Lambat waktu memacu, setidaknya aku masih mengingat klimaks dari setiap episode. Aku masih ingat jengkal demi jengkal tapakan ini berlalu. Masih tergambar dengan jelas kronologis yang mengirimku hingga bertemu denganmu. Well, what can i do for you? nothing!
Perlahan malam bergerak menuju fajar, suhu semakin merendah, dan bintang mulai menghilang.. dan terus menghilang.. Meski ketentraman berganti ketidaknyamanan, aku tak mau mempermasalahkannya. Karena aku telah belajar, saat aku melepasmu...

Minggu, 28 Juli 2013


Ilmu Spionase dari Anggota DPR
Purnama sudah terlewat beberapa hari yang lalu. Aku telah meninggalkan momen-momen itu. Mungkin aku terlampau kaku menyikapi suasana baru yang sedang mendera. Atau mungkin aku sudah tak tertarik lagi padanya. Aku malah lebih tertarik untuk berjibaku mempermainkan perasaan orang lain. Mendekatkan diri dalam lumpur merah jambu yang berisikan banteng yang sedang perang sangat dingin. Benar-benar dingin, disertai canda-tawa, cekakak-cekikik, ngguya-ngguyu, tapi aku tahu jika tiap-tiap hati sudah saling meneteskan lava pijar.
                Hari berganti, purnama pun berlalu, tergerus oleh ocehan para penyamun yang menyeringai di bawah pohon beringin. Mereka saling jual-beli serangan, mencecar setiap sudut sempit pertahanan lawan. Tak peduli panas atau hujan, cerah atau berawan. Bahkan ketika kawan mereka melawan, tak segannya ditawan. Rumit. Semakin rumit. Perang mulai memanas bak mesin disel. Lambat laun menunjukkan progresivitas yang melebihi ambang batas normal pikiran manusia. Sampai pada akhirnya laga seru itu terpaksa dihentikan.
                Para ksatria kembali ke camp masing-masing, menyusun strategi perang yang lebih jitu. Mereka pasti berharap ketika pagar segera dibuka dan perang kembali bergulir. Namun para penyamun sudah terlanjur bergerak semenjak tadi malam. Berbekal ilmu spionase yang diperoleh dari anggota dewan perwakilan rewo berinisial AU, AH, GE, LAP, mereka seolah ingin menunjukkan kontribusi yang maksimal demi menyenangkan tuan mereka masing-masing.
                Pagi ini, menjelang subuh radar kehadiran mereka tercium oleh pengawal istana. Mereka kembali untuk menginput data. Lelah dan kantuk terbayar oleh tepukan khas di pundak. Mereka keluar dari istana dengan kepala tegak. Tak terlihat sedikit pun degradasi performa. Keyakinan yang sangat tinggi menyingkirkan kegusaran akan validitas yang akan mereka pertaruhkan esok hari, ketika perang dimulai. Jika istana porak-poranda, kepala mereka siap jadi taruhannya.
Aku yang dari awal berada pada sudut pandang orang ketiga berusaha tetap on the track. Tak sedikit pun aku tergoda berganti pada sudut pandang orang pertama. Aku tak ingin terintervensi oleh permainan para penyamun. Walau aku sudah kepalang basah mendekati medan perang namun sudah dapat kupastikan tak akan sesenti pun maju langkahku. Dunia itu seluas langkah kaki. Masih banyak ruang untuk melangkah, bergerak, dan berkreasi. Sesegera mungkin kuangkat jauh-jauh kaki ini tanpa harus menunggu siapa yang jadi pemenangnya.

Selasa, 25 Juni 2013


Terbombardir
                Pagi begitu dingin menusuk sampai ke ulu hati. Terlambat sepersekian detik menuju salat berjama’ah. Mau tidak mau aku harus mendirikannya sendiri.
                Mentari masih misteri. Gejolak nadir menstimulus naluriku untuk segera bereksodus. Sayang, bayangmu masih mengintervensi langkah ini. Terbaring, bersama menjaga terbitnya fajar. Imaji ini terus terkembang layaknya kapal layar yang terhantam badai. Terus meliak-liuk.
                Senyumanmu seolah menjadi saksi ganasnya angan ini melayang. Melesat jauh tak terjamah. Tak jelas dimana mencari muaranya. Aku hanya mampu mengikuti, sambil sesekali memegang tali kendali.
                Pelan tapi pasti. Bayangmu mulai menepi. Berubah menjadi lembaran hitam. Senyummu lenyap tertelan deburan ombak. Wajahmu kaku, pucat pasi.
                Hujan rintik-rintik perlahan turun dan membekas jelas di hamparan pasir. Aku terdampar di pantai. Hanya mampu memandangmu. Tak terucap sepatah kata. Kamu masih tak bergeming. Aku tahu, di hatimu turun hujan yang lebih deras. Bahkan semakin deras.
                Walau hujan melahap seisi samudera...
                Walau badai kencang datang menerpa...
                Laut tak pernah meninggalkan pantai...
                Seperti aku,
                Yang tak pernah meninggalkanmu...

Jus Baru Rasa Lama
                Tak terasa sudah satu bulan, purnama menyapaku kembali. Dia masih saja seperti dulu. Elok nan cantik. Seperti “sedianya”.
                Hembusan angin malam mengurai jengkal demi jengkal telaga kalbu. Terseret perlahan ke tepi dan berbekas. Malam ini, aku kembali ke masa silam, satu bulan yang lalu ketika hujan masih turun rintik-rintik. Satu tahun yang lalu ketika mendung tak pernah menghalang, dan satu dasawarsa yang lalu ketika aku dan kamu belum pernah sekalipun bertemu.
                Redup-redam sinar purnama menyisakan cerita. Tentang seorang anak manusia. Jatuh cinta dengan alamnya. Mengejar langkah-langkah kecil yang tercabut dari akarnya. Menakar kebebasan sejati, yang abadi, tanpa pandang bulu. Mencari kemerdekaan yang hakiki ditengah himpitan degradasi moral yang tak kunjung henti.
                Sebuah episode lama yang terulang kembali. Menjemput kenangan masa lampau. Yang tak pernah terbayangkan olehku terjadi lagi di sini. Bertemu denganmu. Menerjemahkan kembali komedi putar yang telah lama vakum. Berpusat pada suatu titik bak delta. Menerjang ganasnya badai, berbekal sebaris doa, kamu... Hadir lagi dihadapanku. Dengan selamat dan sentosa.
                Aku... dan purnama... malam ini. Menikmatimu. Mengukir sejarah yang akan terkuak suatu saat nanti. Oleh anak-cucu kita.
               
                

Sabtu, 25 Mei 2013


Cinta Kasih Statistik >
                Malam tadi sampai pagi ini, aku tak melihat purnama. Sedih rasanya, tak ada teman berbagi. Hanya pada hujan, aku berserah meratapi malam minggu yang sepi. Sendiri. Biarlah dia pergi, mencari tambatan hati lagi (mungkin). Walau hujan selalu menemani, aku kan sabar menanti, (purnama datang lagi).
                Meski hujan datang silih berganti, tergeser oleh mentari, aku tetap berdiri di sini. Bersama cinta yang suci, bergelut dengan hari, setia menunggu, (purnama datang padaku). Berbagi malam dengan berbagai romantika dunia yang fana.
                Purnama, sampaikan salamku padanya. Sampaikan pula bahwa aku mengasihimu karenanya.
                Jika seiring hari berganti kau tak lagi kembali, aku pasti bersedih hati, dan bertanya-tanya apakah salah diri ini. Andai kau tak mau muncul lagi, mendung tak akan kukebiri, hujan tak akan kumaki, alam tak akan kucaci. Dan Tuhan tak akan kukhianati.
                Cinta kasihku padamu tak akan terganti, tertanam subur di lubuk hati, hingga ajal menanti. Purnama, tetap menjadi bagian diri ini. Walau sepi, sendiri, lara hati, tak terobati. Aku tak peduli.
               
                

Jumat, 24 Mei 2013


@LuarNegeri_ngimpi
                Ketika terik matahari mulai menepi, angin berhembus tenang. Semilir merepa setiap nafas yang termekarkan. Seorang abg mematung di pojok kelas.
                Angannya terbang melintasi dinding-dinding kelas. Meninggi menembus atap sekolah yang lusuh. Matanya terpejam, tenang. Ia begitu menikmati sensasi itu. Dan, kenikmatan nampaknya mendekati klimaks. Badannya semakin rileks. Dengan mata telanjang, ia terlihat sangat kenikmatan apa yang ia rasakan. Pelan-pelan mulutnya mulai terbuka. Tanpa disadari, seisi kelas mengamati gerak-geriknya. Mereka seolah ingin tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Klimaks yang ia inginkan pun semakin mendekati kenyataan. Dan... Nggroookkkk!!!!
                Seisi kelas tertawa.
                “Joni! Bangun!” bentak wanita berpostur gemuk berkacamata tebal itu.
                Ia pun kaget setengah mati. Seisi kelas masih saja tertawa.
                “Diam! Diam semua!” gertak wanita itu lagi.
                “Joni!”
                “I..i..ya.. Bu,” jawab Joni.
                “Apa yang kamu lakukan hah?”
                “Sedang diajar malah tidur, ngorok lagi!”
                Beberapa teman sekelas Joni masih terlihat cengengesan.
                “Maa..maaf Bu,” ucap Joni lirih.
                “Kamu mimpi apa tadi sampai ngorok kaya gitu?”
                “A..aa..nu.. Bu.”
                “Anu apa?”
                “A..a..nu.. Saya mimpi ke Singapura Bu,” jawab Joni polos.
                Seisi kelas pun kembali geger. Mereka sangat terhibur dengan parodi Joni. Ada yang semakin mentertawakannya, adapula yang mencibirnya.
                “Alah, kamu ini ngaco!”
“Ikuti pelajaran dengan benar, jadi anak yang pandai, kuliah di universitas yang bagus, jadi mahasiswa yang aktif, baru kamu bisa ke Singapore.”
                “Tapi saya tidak mau seperti itu Bu,” timpal Joni.
                “Lho memang kenapa?”
                Seisi kelas diam.
“Saya anak yang biasa-biasa saja Bu, jika kuliah pun paling di universitas yang biasa-biasa saja. Dan, jadi mahasiswa yang biasa-biasa pula.”
“Itu namanya tidak berprestasi.”
“Bagi saya, prestasi bukan menjadi anak yang pandai, kuliah di universitas ternama, jadi mahasiswa aktif, lalu go international.”
“Biarkan itu menjadi jalan hidup mereka yang kebal terhadap politisasi, kriminalisasi, dan diskriminasi.”
“Saya mau di Indonesia saja, bersama orang-orang yang dilupakan, tertindas di negerinya sendiri, bermimpi ke luar negeri pun tak pernah.”
“Tapi masih punya hati nurani!”

Purnama ‘*’
                Malam ini bulan purnama, aku duduk di atas genting menikmatinya. Ah, indah sekali rupanya. Kutengok ke kanan, kiri. Tak ada siapa siapa. Menyendiri.
                Bulan purnama, atas genting, dan aku, adalah salah satu peradaban yang tak terpisahkan. Entah bagaimana ceritanya, aku jadi suka purnama. Begitu elok nan cantik. Kebahagiaan menghinggapiku hingga lelah menjemput. Walau sendiri.
                Terdengar buaian musik original negara kita yang bergemuruh sejak ba’da ‘isya. Tangan dan kaki pun ikut bergetar seiring lantunan nada. Setidaknya, aku bisa merasakan bahagia. Meski sendiri.
                Aku menyadari suatu hal, bahwa bahagia tidak semata-mata urusan materi, kursi, atau wanita yang mau ditiduri. Bukan, bukan itu. Bagiku, bahagia itu sederhana. Sesederhana aku menatap purnama. Hanya dibutuhkan kesabaran, untuk menanti purnama bulan ini, depan, depannya lagi, dan seterusnya.
               
                

PARADIGMA !
                Azan ‘isya sebentar lagi berkumandang. Sayub terdengar suara-suara sumbang, makin lama makin tercerai oleh malam. Tapak demi tapak kaki seorang anak manusia berjalan merambat di imajiku, membuat nadi terkoyak dan adrenalin terpacu begitu kencang. Emosi?
                Dan azan pun berkumandang. Dua orang anak manusia duduk sejajar di depanku. Berkeluh kesah (di radio galau). Kami terhenti sejenak...
                Setelah mengadapnya, kami lanjutkan “on air”.
                Tak jauh dari sudut mushola, nampak tiga orang srikandi menapaki arah masing-masing. Berjalan dengan arah berbeda namun satu jurusan. Sambil berlalu dari mushola, mereka terlihat berbincang dari hati ke hati.
                “Pokoknya, dia perlu diberi masukan,” celetuk Srikandi 1.
                “Iya benar. Masa sholatnya ndak becus seperti itu,” sahut Srikandi 2.
                “Salain itu, dia juga kerap membuat ulah,” timpal Srikandi 3.
                Seorang remaja tanggung menjadi objek gosip mereka. Berangkat ke mushola dengan niat beribadah, tapi sayang sekali saudara-saudara... Harus diakhir dengan membicarakan aib orang lain.
                Kami (yang di studio) mencoba menginterpretasikannya.
                Sayang, sang remaja tanggung tahu bahwa dia menjadi sasaran para srikandi. Tak bisa dipungkiri, kebencian yang datang, perlahan turun ke hati lalu membeku seperti batu. Benci kepada mereka, dan... Fatal! Dia “lari” dari mushola. Jauh, dan semakin jauh dari mushola
Gosip jilid II pun tersaji di hadapan para pemirsa.
“Wis sholate ora genah, saiki malah ora tau jama’ah,” ujar Srikandi 1.
“Iya, kapan berubahe nek kaya ngene,” imbuh Srikandi 2.
“Jan, wis parah tenan, nek ngene ini dewe kudu bertindak!” tutur Srikandi 3.
Ya, pelan tapi pasti. Si remaja tanggung di jauhi para srikandi. Nampak seperti sejoli yang baru mengakhiri hubungannya. Berpapasan pun tak saling menegur.
Para srikandi masih menggunjing, sedangkan si remaja tanggung mulai lenyap dari peradaban. Lantas ini salah siapa?
Jika Islam dinilai hanya dari salat dan mengaji
Andai shalat dan mengaji mutlak mencerminkan seseorang
Kala seseorang jauh dari itu
Apa dia kafir?


Rabu, 22 Mei 2013


DIAMBANG ?
Slow but sure, aku mulai terlarut dalam romansa yang disajikan media akhir-akhir ini. Sangat menekan naluri dan imajinasiku. Aku berusaha menempatkan diri pada posisi yang benar. Namun aku malah terkungkung dalam perenungan yang tiada henti. Bintang dan bulan menjadi saksi di setiap malam yang aku lewati, yang dengan setia menjawab jengkal demi jengkal pertanyaanku.
Sepintas aku merasa sebagai manusia telah tertipu oleh harum dan semerbaknya dunia, tanpa menyadari betapa busuk dan kotornya ia. Aku tidak sadar bahwa yang selama ini terlihat dan tercium hanyalah kepalsuan. Korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kriminalitas, adalah sedikit contoh betapa impotennya negara ini. Tanpa sedikitpun menyingkirkan progres positif yang terjadi, relitanya bangunan yang terbangun adalah bangunan megah yang terbuat dari kertas. Bukan dari cor-coran! Nampak berkilau dari luar namun rapuh di dalamnya.
Suara rakyat, suara mahasiswa, dan suara kebenaran adalah angin. Sekuat-kuatnya mereka mengencangnya, jika angin bertiup kencang, robohlah bangunan itu. Teorinya memang mudah, namun pada praktiknya belum ada angin topan serupa bulan Mei tahun 1998.
Lantas aku semakin bertanya-tanya, kapankah kepalsuan itu terbongkar? Bintang dan bulan tak bisa menjawab. Kemana lagi aku harus bertanya? Seorang filusuf menjawab, “Jawabannya ada pada diri kalian masing-masing.”


Selasa, 30 April 2013


ROMANSA RETORIKA
                Bingkai-bingkai nafas kehidupan mulai terasa di ujung hari-hari ini. Aku pernah berujar jika bulan ini aku siap dibully. And..that’s true! Aku benar-benar merasakannya, hanya sepercik. Namun cukup berasa.
                Aku mencoba memahami apa yang mereka tangkap dari jejak-jejak langkah kecilku. Pelan tapi pasti aku mulai merangkai nada-nada sumbang yang mulai mengintervensi.  Kalian pikir aku tergoda? Sama sekali tidak.
                Banyak yang menyangka aku masih mencari ikan-ikan di kolamnya. Nyatanya, kalian tidak tahu bagaimana versi yang sebenarnya. Hanya mendengar dari salah satu sisi tanpa memandang betapa erotisnya teori kompartif. Akhirnya, malah kalian sendiri yang terjerembab dalam fitnah yang akan terbawa sampai mati.
                Aku bukanlah lembu, yang terjun ke lubang yang sama. Pengalaman dan nurani membimbingku untuk berjalan melawan arah mata angin. Walau badai terus kau tiupkan dari berbagai media sosial. Aku tak peduli. Kamu kan intim dengannya, sedangkan aku?
                Terlalu lama berperan menjadi tokoh antagonis dalam cerita imajinasimu. Sejak pertama kita bertemu. Dari awal kita berbagi dunia, sampai aku sudah tahu kemana arah langkahmu.
                Rasanya, aku sudah benar-benar siap untuk mendistribusikan rasa laparku terhadap jalan yang benar. Nyaman tanpa tekanan maupun kekangan. Lurus tanpa belokan yang kadang mematikan. Netral, tanpa memihak siapapun kecuali kebenaran!
                Tuhan, maafkanlah mereka. Karena tidak tahu apa yang mereka rasakan.

Jumat, 12 April 2013


SERPIHAN ASBES
                Pagi buta hujan mengguyur negeri  mataram. Setelah salat subuh mataku kembali terpejam. Janji yang dibuat seolah samar dibalik dinginnya kabut. Kerja bakti hari ini batal, pikirku. Terlelap jauh menembus batas imaji, menyatu bersama tetesan-tetesan penuh ketentraman. Nampaknya aku sangat menikmati tanpa memikirkan dosa yang membayangi. “Dok..dok..dok..” pintu kamarku ada yang mengetuk.
                Kubuka pintu kamarku, ternyata si pemilik FU yang mengetuk. Samar terdengar suara gesekan antara sapu lidi dan halaman. Sudah ada yang menyapu rupanya. Hujan sudah reda, tetua kos-kosan terlihat sedang mengepel gazebo. Mati aku. Aku melanggar janji. Mayoritas anak-anak kos sudah bangun. Tanpa basa-basi, aku langsung sikat problem di dapur. Set..set..thek..less.. Kelar.
                Setidaknya lumayan untuk mengembalikan nama baikku. Sudah kubayangkan rencana matang membeli cemilan untuk anak-anak, sembari membersihkan meja di depan kamar. Sesaat aku dengar percakapan antara dua anak manusia di atasku. Jelas namun kurang terang. Aku tetap fokus pada meja. Tiba-tiba terdengar benturan yang keras di atas kepalaku. Aku langsung menyelamatkan diri sembari mengamankan kepalaku dengan tangan. Terlihat jelas pemuda bercelana biru muda tersangkut di antara asbes dan saka. Kuamati betul-betul. Aku sempat mendekat, ternyata dia terbangun dan menimbulkan pecahan-pecahan asbes kembali berjatuhan. Aku kembali menghindar, untunglah dia tidak jatuh. Pagi yang gila!
                

Kamis, 11 April 2013


ADA YANG (TIDAK) BERBEDA
                Bulan ini aku mengalami proses pendewasaan yang cukup lebat. Seharusnya aku sadari itu, namun sepertinya aku terlambat merespon. Keterlambatan merespon sesuatu yang sering aku lihat di pertandingan sepak bola berakibat pada terciptanya blunder yang menyebabkan kekalahan. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin menjauh dari adegan-adegan seperti itu.
                Jauh mata memandang, tersirat sepercik cahaya sentosa. Memancar vertikal. Aku berada di tengahnya. Katalis yang tepat untuk beban berat yang menumpuk di pundak ini. Aku ingin belajar menjadi reaktor yang santun. Bukan yang hanya mengatasnamakan kepentingan rakyat atau yang lebih parah mengatasnamakan agama. Aku tidak mau. Negara ini tidak membutuhkan nuklir untuk menghancurkan kenestapaan.
                Terang sinar rembulan tidak lagi elok di mataku. Karena setiap malam yang aku lewati ternyata tidak pernah ada yang berbekas. Semua lepas bersama terbitnya fajar. Terpejam bersama gelapnya malam. Terbang bersama angan, seperti layang-layang. Gemercik air hujan belum terdengar malam ini. Yang kudengar hanya  tetesan-tetesan air bak yang membanjiri lantai kamar mandi. Hanya lagu-lagu galau yang berkumandang setiap malam di sini. Parah. Studio galau yang sempat tertidur, kini bangun (lagi).
                Sebenarnya sudah banyak rencana matang yang akan aku jalani, namun masih terganjal oleh birokrasi dan materi. Jujur, aku sangat kehilangan revi. Bulan ini masih sama dengan bulan-bulan sebelumnya. Penuh dengan warna-warni lampu bangjo. Berlika-liku seperti jalan tol Cipularang. Dan bertekstur seperti gorengan di angkringan Pak 2152215. Tanpa revi disisiku.
                Bulan depan, sudah kuprediksi jika nikmatnya aroma bullying akan mulai menerpaku beberapa hari kedepan. Sudah ada yang menjadi aktris, kemarin. Sayang, aku sudah siap mental. Tegas kukatakan. Bulan ini aku siap dibully.
                               
                

Rabu, 10 April 2013


Tok..tok..tok.. (Bahasa Verbal yang Disamarkan)
                Aku teringat pada kata-kata seseorang yang aku dengar beberapa hari yang lalu bahwa di dunia ini terlalu banyak hal unik yang tak terekam oleh kita. Setelah aku pikir..pikir..dan pikir lagi. Aku ingat-ingat, ternyata memang sudah banyak hal yang terlewatkan selama hidupku di dunia ini. Satu hal yang paling ‘telak’ aku lewatkan yaitu kode. Atau sederhananya, sesuatu yang disampaikan secara disamarkan. Contoh konkretnya, misal Andi bertanya padaku. “Gimana kabar?” lalu aku jawab tidak dengan ucapan. Tapi dengan mengacungkan jempol. Artinya baik. Sehat. Aman. Terkendali. *^.
                Aku pernah bilang, jika aku suka dunia intelejen. Jadi jangan salahkan jika banyak sms-sms di inbox teman-temanku yang sering aku sadap. (Jail level awas!). Entah rasa ingin tahuku yang terlalu tinggi atau ekspektasi terhadap sesuatu yang membayangiku terlalu besar. Sampai saat ini pun aku tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, aku ingin, jika mereka hanya mengetahui telur ulat itu di balik daun. Aku bilang dengan tegas jika ulat tidak bertelur!
                Aku sudah lama tidak berjumpa dengan teman-teman ‘di luar’ sana. Dua tahun terakhir, kuhabiskan dengan menjelajah lorong-lorong sempit berminoritas. Butuh nyali dan materi yang banyak untuk menyalurkan hobiku itu. Walau banyak yang menganggap sebelah mata, toh aku masih punya teman untuk berpetualang. Sudah banyak kode-kode yang aku cerai beraikan. Namun, aku rasa itu masih sebagian kecil.
                Setiap hari aku dicekoki dengan bunyi-bunyi khas perkampungan kota. Tercium sedikit kebisingan dalam laju interaksi sosial masyarakat di sini. Aku sudah mencoba mencari beberapa narasumber dari dulu. Namun, rasanya info yang aku dapat belum memuaskan. Aku masih harus berni mendobrak benteng-benteng tangguh di sekitarku. Aku yakin kode itu ada di sana. Pelan tapi pasti, waktu terus merambat. Dunia yang aku geluti memang tanpa basa-basi.
               

Selasa, 09 April 2013

Vacum is Power
            Setelah beberapa hari tertahan, akhirnya hari ini aku menari lagi. Cenderung horizontal seperti biasanya. Malam masih menjadi teman yang setia. Helm biru yang tergantung di vario putih menjadi saksi betapa nakalnya aku. Hahaha, sori boss.. Kamu aku kerjain lagi.
            Seorang teman yang aku kerjain hari ini memang sudah menjadi ‘langgananku’. Kerap kali menjadi bulan-bulananku. Di kampus, kos, sampai di rumahku. “Wih..wih..wih..sakit tenan kowe re!” Paling hanya kalimat itu yang keluar dari mulut polosnya jika tahu akulah biang kerok dari peristiwa-peristiwa konyolnya. Termasuk mungkin malam ini. Helmnya yang tertinggal di kosku aku sembunyikan. Wkwkwk.
            Sudah banyak kejadian-kejadian konyol yang pernah kita lewati bersama. Pernah suatu ketika kami berboncengan menuju Godean kemudian pulang dan terjebak hujan di timur pasar Godean. Menjelang maghrib, hujan reda. Kami melanjutkan perjalanan tiba-tiba motor yang kami tumpangi mati. Aku langsung mendakwa jika kerusakan ada pada busi, lalu kami dorong ke bengkel terdekat yang jaraknya beberapa kilo. Setelah diganti busi, tidak mau hidup juga. Tungkang bengkel itu lalu memeriksa lagi seluruh bagian motor, dari mesin, karburator, filter sampai cdi. Usut punya usut, motor kami mati hanya karena kehabisan bensin. Sakit.
            Pernah juga ketika kami berpetualangan di kota asal Pak Jokowi. Aku berusaha mati-matian mencari alamat kontrakan teman SMPku. Karena baru pernah masuk kota itu, kami lalu hanya sekadar spekulasi mencari jalan. Hari itu kebetulan ada pertandingan di stadion Manahan. Banyak sekali pasoepati yang berkeliaran di jalan. Tanpa di sadari kamipun malah tersesat di antara pemukiman warga. Aku lalu berpendapat bagaiman jika kita mengikuti salah satu rombongan pasoepati agar bisa keluar ke jalan protokol. Setelah mengikuti mereka, ternyata satu persatu memencar. Akhirnya kami hanya mengikuti satu sepeda motor yang paling depan. Dengan PeDenya kami ikuti terus, tapi lama kelamaan aneh juga. Perasaan kok tidak lewat jalan protokol. Jalan yang dilewati pun semakin sempit dan masuk gang-gang. Ternyata keanehan itu terjawab. Si suporter itu tujuannya tidak menuju stadion, tapi menghampiri suporter lainnya di suatu rumah. Wih..wih..
            Walaupun kejadian yang kami alami seringnya konyol tapi tak pernah menyurutkan niatan kami untuk terus ‘berkarya’ (konyol) di dunia ini. Hidup itu untuk disyukuri, bukan untuk dieksplorasi. Kami tak tahu sampai kapan kami akan terus berpijak seperti ini. Yang penting, kami menikmati. Sudah banyak yang mengatakan kalau kami jauh dari normal, tapi kebanyakan yang mengatakan itu pada kami juga tidak normal. So, woles baelah..

Senin, 25 Maret 2013


J...?
                Petikan-petikan gitar yang kumainkan terdengar katro. Banyak kunci-kunci balok yang aku salin menjadi kunci-kunci biasa. Maklum, aku memang tidak bisa memainkan kunci balok. Sebuah filosofi muncul secara tiba-tiba ketika candaan seorang teman menusuk kalbu. “Hidup ini seperti bermain gitar. Ketika sulit memainkan kunci balok maka sederhanakanlah dengan kuci biasa. Nikmat itu bukan soal bagaimana tapi soal rasa.”
                Menulis memang job yang cukup menyebalkan bagiku namun setiap malam kucoba paksakan. Tulis, tulis, dan tulis. Sampai kapan akan terbiasa akupun tak tahu. Mungkin sampai lelah ini terasa manis.
                Hari ini, aku kembali pada niat awal melego revi. Jalan kaki dari kos ke kampus ternyata cukup melelahkan. Terima kasih teman, kamu telah menemaniku jalan kaki (untung saja ada seorang teman yang mau menemaniku). Keringatku sampai mengguyur jasmaniku. Semoga saja banyak butiran-butiran lemak yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.
                Balada pengalaman praktik lapangan di mulai tadi siang. Ternyata menjadi komik itu susahnya minta ampun. Aku saja yang terlalu pede. Sebuah pelajaran berharga yang aku dapat hari ini semoga menjadi batu loncatan esok hari.
                Nice dream! : )

Yk, 25-03-13

Minggu, 24 Maret 2013


SOFA TANPA BUSA
                Rasa kantuk yang ku paksakan semoga tidak berdampak terhadap riwayat penyakit yang sempat membuatku terperangah. Sepertinya begitu banyak angin yang berada di tubuhku, rasanya seperti balon gas. Ingin membumbung tinggi namun tertahan atap kos-kosan. Malam ini langit masih merona namun terdiskriminasi oleh panas yang tak berani menguap. Persis sepertimu.
Ngantuk sekali aku malam ini, sampai-sampai kedipan mataku tak seiring sejalan dengan gelora imajinasi yang kian meletup. Aku masih akan bergerilnya sampai larut malam, berselancar di atas seprei tak berlantai. Kala penyamun-penyamun datang dan mulai menggodaku untuk terlibat dalam kongkalikong, ku putuskan untuk rolling posisi. Pindah di atas sofa bertumpuk jerami. Sambil meraba duri yang terselip diantara satu atau dua tumpukannya.
Tanpa kusadari tetesan-tetesan air merah bercampur dengan peluh mulai terasa perih. Jari tanganku mulai tergores lalu ku balut dengan dengan plastik bekas bungkus tempe. Sedikit perih memang, tapi ku tahan dan lama-kelamaan rasa ini menjadi biasa saja.
Di atas sofa aku mulai menikmati secangkir kopi ditemani lagu kesayangan, mencoba membaur dengan malam. Kantuk yang mulai tertahan, memberiku kesempatan untuk membandingkanmu. Aku perhatikan satu demi satu slide pose-pose yang kau kirimkan ke aku. Hmm.. That’s bad job!
Kesalahanku terbayar ketika rasa kantuk ini kembali menggerayahi. Mencoba menggagahi alam bawah sadarku. Jelas ini sebuah pelecehan psikologis! Tapi aku mau mengadu kemana?
Alon-alon asal kelakon, jejak kakiku mulai beranjak. Bukan gelar yang aku cari, melainkan sebuah paradigma terhadap mosi tidak percaya. Tahun ini sungguh terasa aneh bagiku. Aku memilih jalan yang berbeda dari biasanya walau naluriku berkata lain. Aku tidak peduli.
Aku tetap banderol dirimu persis seperti nomor urut presentasiku. Tidak boleh kurang, syukur bisa lebih. Reviku yang tomboi, terima kasih atas kesetiaanmu kepadaku selama ini. Aku tahu, aku salah. Aku tahu, kamu kecewa. Tapi kamu juga harus tahu, ekspektasiku berbanding terbalik dengan kapasitasmu. Reviku yang tercinta, selamat jalan. Semoga kau mendapatkan Tuan yang lebih baik daripada aku. Maafkan aku kawan. All of about you always stay in my heart. Aku berharap memimpikanmu malam ini.

Yk, 24-03-13
                

Sabtu, 23 Maret 2013


JALAN DIATAS LAYANG-LAYANG
                Hari ini, lagu Netral tak berkumandang begitu lama. Tak begitu terdengar malahan. Haha. Seperti salah satu tradegi puisi SCB. Representasi nyata dari kekurangan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Hanya lagu Bang Iwan yang terdengar begitu menderu, mengingatkan kembali memori beberapa tahun silam. Saat aku berjibaku di mulut gawang penyamun.
                Lagu yang hits gara-gara iklan yang sukses meracuni otak temanku ini seolah mengilhami malam ini, selaras dengan Stand up Comedy yang membuat perasaanku terengah-engah.  Walau menjadi antiklimaks dari beberapa hari lalu, sujud syukur tetap ku persembahkan kepadaMu. Setidaknya doa-doaku mulai terlihat hasilnya. Thank’s God!
                Hawa panas bercuaca mulai akrab denganku, dengan sedikit sontekan manis di depan gawang dunia menjadi tak selebar daun kelor. Telingaku memang tak sesensitif Mozart namun anganku berani terkembang di atas jembatan layang. Kata-kata tak wajar nan saklek membuka mata seorang pejantan menggoda betina. Perlahan-lahan aku berlumur liur anjing. Pelan tapi pasti, fenomena sosial yang jarang terjamah tangan makhlukMu kucoba pelajari.
                Studi di dunia ini tak berarti kita menghilangkan seluruh ikan di kolam yang telah lama kita pelihara. Banyak dari mereka yang salah kaprah. Mencatut kamar-kamar atasnama akademik di dalam rumah yang bermuatan tambang emas dan batu bara. Aku tak mau seperti mereka, diterjang tipu daya yang nyata. Lupa akan kodrat kita hidup di dunia. Tapi berpikir keras untuk menyiasati itu semua masih kalah dengan program degradasi lemak dalam jasmaniku.
                Dipenghujung hari menjelang tahun baru yang akan kusandang banyak fenomena-fenomena berharga yang dapat aku curi. Kecuekan yang sering muncul segera disulap menjadi sebuah senjata yang memetikan untuk menghancurkan musuh terbesarku. Kencangnya angin malam ini, tak membuatku terbangun dalam kesesatan yang abadi. Kakiku akan terus melangkah di atas jalanku sendiri. Mengejar mimpi yang kemarin melayang.

Kamis, 21 Maret 2013


Anganku Tak Mau Menari
            Letupan-letupan keringat tak mampu menghalangi untuk kembali membongkar ingatanku tehadap dirimu. Berbekal 2 lembar cerpen lawas karya Putu Wijaya, aku rasa memori-memori itu bertamu lagi. Aku tak mampu menyembunyikan rasa getir padamu, terlalu lama waktu yang telah terbuang sia-sia dalam fase yang sedang kita jalani. My standing foot just stay in here, and you?
            Masih terekam jelas di dalam otakku, apa yang telah kamu sampaikan padaku kala itu. Kamu yang mengajariku untuk menjauhi si jambu (tanpa L) tapi kamu sendiri malah bermain api dengannya. Disitukah nilai-nilai keadilan yang kamu gembar-gemborkan selama ini. Seiring berjalannya waktu, aku memaksakan diri menjadi sobirin. Lama, lama sekali. Seperti biasa, kamu tahu itu. Apa yang kiranya aku lakukan. Harusnya kamu tahu, apakah aku masih terlihat asing bagimu?
            Kemarin temanku bilang kalau aku seperti orang ‘jatuh’. Katanya sambil tertawa. Walaupun santai, aku tetap menanggapi serius. Aku memang seperti orang itu. Jauh seperti aku yang dulu. Kamu tidak tahu itu, yang kamu tahu hanya sepersekian mili dariku. Jujur, kehadiranmu mulai membebaniku. Apa kamu tidak sadar?
            Berita terkini, teman sekosku baru di sms intel. Parah, seperti selancarku barusan. Aku memang sudah lama tertarik menggeluti dunia intelejen. Hanya untuk sekadar tahu ikan-ikan di kolammu. Setelah aku tahu, dan kamu juga tahu. Lalu, kamu mau pergi dariku?
            Seperti tarian jari ini yang mulai lunglai seiring sunyinya malam. Twitt mu perlahan membuka kartu demi kartu yang seolah-olah tersusun kembali di kala abu-abu masih membalutku. Aku ingin tertawa sebenarnya namun tertahan oleh sedikit rasa kecewa. Anganku terbang entah kemana, mungkin tertaut dalam mimpi setelah ini. Aku tak tahu. Parahiangan mungkin terlalu ramah bagi kalian, kemuliaan untuk berbagi kepada sesama manusia layak untuk menyatukan suapan nasi kalian. Dan aku, pasti akan terus berjalan menyusuri pijakan-pijakan takdir ilahi. Salam hangat untuk kalian. Setiap manusia memang diciptakan berbeda-beda, aku diciptakan bukan sebagai pejantan yang lihai memikat betina. Diamku, suatu saat kamu akan tahu maksud di balik semua itu. Jika kamu mau.
               
Yk, 22-03-13