DIAMBANG ?
Slow but sure, aku mulai terlarut dalam
romansa yang disajikan media akhir-akhir ini. Sangat menekan naluri dan imajinasiku. Aku berusaha
menempatkan diri pada posisi yang benar. Namun aku malah terkungkung dalam
perenungan yang tiada henti. Bintang dan bulan menjadi saksi di setiap malam
yang aku lewati, yang dengan setia menjawab jengkal demi jengkal pertanyaanku.
Sepintas aku
merasa sebagai manusia telah tertipu oleh harum dan semerbaknya dunia, tanpa
menyadari betapa busuk dan kotornya ia. Aku tidak sadar bahwa yang selama ini
terlihat dan tercium hanyalah kepalsuan. Korupsi, kolusi, nepotisme,
kemiskinan, kriminalitas, adalah sedikit contoh betapa impotennya negara ini.
Tanpa sedikitpun menyingkirkan progres positif yang terjadi, relitanya bangunan
yang terbangun adalah bangunan megah yang terbuat dari kertas. Bukan dari
cor-coran! Nampak berkilau dari luar namun rapuh di dalamnya.
Suara rakyat,
suara mahasiswa, dan suara kebenaran adalah angin. Sekuat-kuatnya mereka
mengencangnya, jika angin bertiup kencang, robohlah bangunan itu. Teorinya memang
mudah, namun pada praktiknya belum ada angin topan serupa bulan Mei tahun 1998.
Lantas aku
semakin bertanya-tanya, kapankah kepalsuan itu terbongkar? Bintang dan bulan
tak bisa menjawab. Kemana lagi aku harus bertanya? Seorang filusuf menjawab, “Jawabannya
ada pada diri kalian masing-masing.”